Friday, July 13, 2012

Busur Cahaya di Bulan Ramadhan by Inda Fatmasari


Tengah malam telah lewat. Setelah beberapa kali bersujud penuh harap akan petunjuk dan lindungan-Nya, aku bersimpuh tertunduk di atas sajadah, terpaku melihat telapak tanganku yang tengadah tertutup juntaian kain putih dari mukena yang kukenakan. Tersamar pikiranku, tak sepenuhnya tertuju pada apa yang kulihat, karena aku lebih menikmati damai dan sejuk yang menyelimuti seluruh tubuhku yang terbungkus mukena putih. Di ruang sempit di ujung lorong tempat kostku itu aku bersimpuh berurai air mata. Malam yang sunyi terasa lebih sepi dari biasanya, menghantarkanku semakin tertunduk dalam penyesalan terhadap dosa-dosa yang pernah kuperbuat. Baik yang sudah kuperbaiki, ataupun yang belum juga mampu kuhentikan. Astaghfirullahhal-adziim…

Aku bisa merasakan damainya tertutup hijab, sejuknya merasa berada di dekat-Nya, tapi masih saja aku pergi bekerja hanya mengenakan kemeja lengan pendek, celana panjang dan rambut terurai. Aku teringat boss-ku yang melarang mengenakan hijab karena perusahaan tempatku bekerja milik orang asing dan banyak expatriate yang satu kantor denganku. Aku teringat kekhawatiran ibuku ketika kusampaikan keinginanku untuk mengenakan hijab, bahwa akan sulit mencari pekerjaan jika berhijab. Pada saat itu memang pemerintah masih melarang pegawai negeri mengenakan hijab. Pemerintah saja melarang, apalagi perusahaan swasta. Maka kutegarkan kembali hatiku, tanpa hijab, berjalan di bumi Allah, demi pekerjaan yang sudah kudapatkan, demi meringankan beban ibuku yang seorang diri mengurus kami, anak-anaknya. Meski harus menahan kerinduan akan kedamaian dalam balutan mukena putih yang kukenakan saat sholat, kerinduan akan perasaan berada di dekat-Nya.

Ketika tengah malam telah lewat, maka kutertunduk kembali mengharapkan ampunan dan petunjuk-Nya. Seringkali aku teringat nasehat guru Agama di sekolahku, kami biasa memanggil beliau Pak Halim. Suatu hari di kelas Pak Halim mengatakan:

“Menutup aurat itu wajib hukumnya baik bagi laki-laki maupun perempuan. Aurat laki-laki adalah dari pusar sampai lutut. Aurat perempuan adalah dari ujung rambut sampai ujung kaki, kecuali wajah dan telapak tangannya. Yang berhak melihat aurat kita hanyalah muhrim kita. Kalian bisa bayangkan, jika setiap inchi aurat yang terbuka dihitung sebagai satu dosa oleh Allah, maka kalikan berapa inchi yang tampak, kalikan berapa lama kalian menampakkan aurat itu dari awal baligh hingga sekarang. Berapa banyak dosa yang harus kalian tanggung?”

Tiap kali teringat nasehat itu, otakku langsung berhitung, hatiku berdesir perih membayangkan ribuan, jutaan, bahkan milyaran dosa yang harus aku tanggung, sedangkan kebaikanku belum seberapa. Haruskah aku menghadapi yaumul hisab dengan bersedih hati karena lebih berat timbangan dosaku daripada timbangan amalku? Astaghfirullahhal-adziim…

Suatu hari aku mendapatkan panggilan telepon di rumah ibu kost, dari sahabatku. Maklum tahun 1998 masih jarang yang memiliki telepon genggam. Pesawat telepon tetap masih sangat terpakai untuk komunikasi jarak jauh. Melalui telepon di hari itu sahabatku mengabarkan bahwa kami diterima magang di sebuah perusahaan besar idamanku, idaman ibuku. Walaupun hanya magang, tapi itu merupakan peluang dan harapan besar bagi kami untuk bisa bergabung menjadi karyawannya.

Keesokan harinya aku menghadap ke boss-ku untuk mengajukan surat pengunduran diri dan berpamitan dengan teman-temanku di sana. Aku menolak ketika bagian keuangan memintaku menunggu entah berapa hari untuk proses hak-hakku yang belum terbayar, karena aku ingin segera pulang, mengabarkan berita baik ini kepada ibu dan saudara-saudaraku. Beberapa hari ingin kuhabiskan di rumah sebelum harus berangkat lagi untuk magang di perusahaan besar itu.

Aku kenal beberapa orang dan beberapa teman yang sudah lebih dahulu magang atau sudah bekerja di perusahaan itu dan di antara mereka ada yang mengenakan hijab. Betapa senangnya aku akhirnya bisa mengikuti jejak mereka, di sana diijinkan mengenakan hijab. Subhanallah…! Ketika kusampaikan berita tentang magang dan maksudku untuk mengenakan hijab, ibuku langsung menyetujui. Sungguh suatu berita gembira buat kami. Alhamdulillah… Allah selalu memberi jalan bagi hamba-Nya yang berniat baik.

Busur cahaya kedamaian dalam berhijab telah mengenai dan menerangi gelap hatiku. Berbekal satu jilbab instan berbahan kaos yang mirip model mukena, empat jilbab segi empat dan pakaian lama seadanya kumantapkan hatiku untuk selalu mengenakan hijab. Jika pakaianku lengan pendek, hanya tinggal kutambahkan jaket untuk menyempurnakan hijab. Tidak satu pun pakaian dan aksesoris busana muslim yang khusus aku beli untuk persiapan berhijab. Tidak terlalu penting berapa kerudungku, seperti apa pakaianku, yang terpenting adalah tekad untuk mengenakannya.

Dengan membaca Bismillah kumantapkan hatiku untuk berhijab, untuk mendapatkan kedamaian hati yang selalu kurindukan di tengah malam-malamku. Untuk dapat selalu merasakan keindahan berada di dekat-Nya, untuk berhijrah. Alhamdulillah… Terima kasih Ya Allah,… Telah Kau beri aku kesempatan untuk memperbaiki satu lagi kekuranganku.

No comments:

Post a Comment