Friday, July 13, 2012

Accidentally Hijab by Aulia Permata Fani


Mengenakan hijab bagi saya adalah sebuah transformasi tiada henti. Berawal dari keinginan yang muncul sejak saya duduk di bangku sekolah menengah pertama. Bukan karena dorongan iman atau agama. Hanya entah apa, saya suka, dan merasa damai, bahkan hanya dengan memandang atau membayangkannya. Sementara, saya berada di masa remaja, pencarian jatidiri. Mulai mengenal fashion, memperhatikan penampilan, mencintai rambut indah saya, dan ingin menunjukkan kelebihan fisik sebagai wujud identitas. Yang ada di pikiran saya waktu itu, “Nanti dulu lah yaa, kayanya belum siap pake hijab, belum ikhlas, hijabin hati dulu aja.”

Memasuki jenjang menengah atas, alhamdulillah saya masuk ke sekolah favorit di kota saya. Berkumpul bersama anak-anak berprestasi yang juga memperhatikan penampilan. Maklum saja, sekolah saya di Semarang ‘bawah’, kawasan pusat kota, berada di lingkungan sekolah bergaya. Saya? Sudah barang tentu terhanyut dalam hingar bingar dunia remaja usia menengah atas. Berawal dari baju gombrong, rok tak beraturan, sepatu keds, mulai bergeser ke rok ketat sepanggul, baju press body, kaus kaki tinggi, flatshoes. Berawal dari rambut perawan, beranjak ke jepit, bando, hingga non-permanent styling (saya cinta rambut saya, dan tidak ingin ia rusak karena bahan kimia), dan rajin ke salon untuk merawat rambut. Saya memang remaja putri biasa yang ingin tampil cantik.

FYI, masa menengah pertama dan menengah atas adalah masa sulit bagi saya dalam keluarga. Saya bukan orang yang suka diatur, apalagi dipaksa. Orang tua saya orang lugu, sedangkan saya terobsesi dengan hal-hal modern. Tak ayal lagi pertengkaran dengan orang tua menjadi makanan sehari-hari. Semakin mereka melarang, semakin saya langgar. Astaghfirullah..

Menginjak tahun-tahun terakhir masa menengah atas, keinginan untuk berhijab kembali muncul dan tumbuh berkembang. Hanya saja saya merasa diri saya kotor, bukan orang suci. Ada ketakutan saya justru menodai makna hijab dan mempermalukan agama karena kelakuan yang saya rasa masih acakadul. Selain itu, ada rasa tidak suka di diri saya menatap paradigma bahwa wanita-wanita berhijab itu seperti menarik diri, bahkan bisa saya anggap mengucilkan diri. Bergaul hanya dengan sesama berjilbab, terutama bagi yang menggunakan jilbab lebar. Kemudian meredup dari dunia, tidak dapat maksimal mengaktualisasikan diri. Mungkin ‘ekstrim’ menjadi pilihan kata yang tepat. Ekstrim dalam bergaul, berpakaian, menunjukkan gap beragama. Gema suara syaitan berhamburan di kepala saya. Saya pending lagi, karena saya tidak ingin berhijab lepas-pakai.

Masa awal kuliah keinginan berhijab menguat. Kali ini sudah mulai terbumbui alasan agamis. Mulai menyadari bahwa berhijab adalah kewajiban muslimah. Akan tetapi, pacar saya waktu itu tidak berkenan, dan bayang-bayang stigma wanita berhijab masih belum mereda. Justru maik kuat karena di kampus saya, rata-rata muslimah berhijab seperti itu, ekstrim menurut saya. Saya merasa dengan cara seperti itu, hiajb tidak akan dihargai, melainkan semakin dipandang skeptis dan berkesan umat muslim tidak dapat membaur. Mereka menyimpan kebaikan yang mereka temukan bagi dirinya sendiri dan kalangan terbatas, bukan untuk dunia yang makin sekarat ini. Ya. Saya terobsesi menyeimbangkan dunia dan akherat. Menyebarkan atmosfer Islami yang hangat ke dunia dengan cara halus. Which is kata supervisor magang saya yang juga ustadz, sangat sulit, bahkan tidak mungkin.

Another information hubungan saya dengan keluarga di fase ini sudah membaik. Alhamdulillah Allah mempertemukan saya dengan keluarga pacar saya waktu itu. Saya belajar banyak mengenai cinta intrakeluarga. Huge thank’s untuk mereka :’). Bapak dan ibu yang semakin mendalami agama juga turut mendorong saya berhijab. Tapi masa remaja saya belum hilang sepenuhnya. Walau hubungan kami mulai membaik, saya masih tidak suka melakukan hal yang orang harapkan. Saya tidak ingin mereka merasa berhasil mempengaruhi saya. Walau sebetulnya keinginan itu sudah kuat bukan main.

Naif memang saya, berusaha menyeimbangkan dunia-akherat. Tapi saya bukan orang yang pantang mencoba. Saya ingin mengubah paradigma hijab. Orang tua saya selalu menanamkan untuk membangun hal besar mulai dari hal kecil. Jadi saya mulai mengesampingkan anggapan takut menodai nilai hijab dan Islam karena saya belum syar’i. Minimal saya berusaha menjalankan kewajiban.

Yang masih ada di pikiran saya waktu itu, bagaimana membuat pacar saya ACC. Tapi entah ada takdir macam apa, he broke me up. Sedih? Sangat. Bertahun-tahun pacaran, keluarganya juga inspired me. Tapi saat itu juga, saya langsung berucap akan berhijab dalam waktu dekat. Entah kebetulan macam apa lagi, mantan pacar saya itu ternyata sedang dekat dengan wanita yang berhijab, walau belum istiqomah.

Pascaputus tekad saya makin bulat. Saya ingin membawa perubahan. Saya ingin membuktikan hijab bukanlah penghalang bagi wanita untuk berkarya, bergaul, sukses, fashionable, bagian ini karena menurut saya semua wanita suka fashion dan ingin cantik. Pemikiran saya bahwa hijab akan menghancurkan kemungkinan itu pasti bergelayut di benak mereka. Padahal ini kewajiban.

Suatu hari, seorang sahabat masa SMA mengajak saya pergi. Saya mengenakan jeans, kaus, dan cardigan lengan panjang. Ketika ia menjemput, entah ada kekuatan dari mana, tangan saya menyambar sehelai hijab sembari berjalan ke mobil, lalu memakainya di dalam. Dia pikir saya hanya ingin coba-coba. Dan saya dengan mantap “Aku mau pakai mulai sekarang, inshaAllah seterusnya.”

Saya sebetulnya juga bingung. Waktu itu minggu tenang. Saya berniat mulai memakai hijab setelah liburan semester, di awal semester depan. Tapi entah mengapa, saya mendadak mantap saat itu. Teman saya kaget bukan kepalang. Bagaimana tidak? Peer group saya semasa SMA itu adalah kumpulan wanita-wanita ‘gaul’. Saya hampir tidak pernah melihat teman saya ini shalat. Tapi siang itu dia shalat di hadapan saya. Subhanallah.

Kebetulan yang lain, saya bertemu sang mantan dalam perjalanan hari itu. Dia kaget. Ketika saya hendak pergi, teman baik mantan saya datang menemuinya, juga terkaget melihat saya. Lalu sepintas saya mendengar “berhasil kan?” Entah apa artinya itu, tapi kalau itu ditujukan ke saya, semoga dia tahu. Saya berhijab bukan karena patah hati ataupun perempuan yang sedang didekatinya saat ini. Hanya saja mungkin putusnya kita memperlancar jalannya. Apapun itu, terima kasih, alhamdulillah.

 Sepulang bepergian, ibu saya terperanjat melihat saya berhijab. Matanya berkaca-kaca. Berulang berucap hamdallah, memuji saya cantik, dan memeluk saya. Pertama kalinya saya trenyuh. Wajah bahagia bercampur menghias wajah mereka. Saat itu saya sadar, bahagia mereka itu sederhana. Dan selama ini saya mencegah diri sendiri untuk membahagiakan mereka. MashaAllah.

Seminggu setelahnya, ujian akhir semester dimulai. Saya datang ke kampus dengan berhijab. Kehebohan lain saya hadapi hari itu. Semua orang terperanjat, menyapa, bertanya, tidak percaya. Lagi-lagi, peer saya di kampus pun tergolong terpandang ‘anak gaul’. Saya hanya tersenyum, dan menjawab inshaAllah.

Awalnya saya masih suka berpakaian ketat, dan kerudung langsung pakai yang hanya menutup sampai leher. Seiring berjalannya waktu, saya mulai mereduksi tingkal laku yang kurang syar’i. Mulai dari membatasi kedekatan dengan teman-teman laki-laki saya yang seabrek. Menambal shalat, dst. Semakin lama saya beralih ke hijab paris yang lebih lebar, walau masih di selempang ke belakang, tidak menutup dada. Kemudian pakaian yang lebih longgar dan panjang, tapi masih dengan celana ketat. Lalu mulai berhijab menutup dada, dengan bahan paris atau pashmina. Kini mulai meninggalkan celana ketat, beralih ke rok. Masih semakin terdorong memakai yang lebih longgar, dan berusaha mengkawinkannya dengan fashion.

Saya bukan orang suci. Saya masih berpacaran. Awalnya menanggalan hijab di rumah saya dan rumahnya. Hubungan kami pun sangat dekat. Namun, kini, saya mulai membatasi kedekatan kami. Sebisa mungkin tetap berhijab di rumahnya. Walau sekarang saya masih tidak berhijab di rumah sendiri. Tapi saya yakin proses itu akan selalu ada. Saya juga masih terus belajar untuk lebih syar’i.

Saya tidak akan mencela desainer-desainer baju muslim yang naik daun ataupun muslimah ekstrim yang menghujat mereka. Menurut saya semua memiliki alasan yang baik. Setidaknya desainer baju muslim bisa mengajak muslimah-muslimah lain berhijab. Walaupun masih jauh dari syar’i, tapi saya percaya pada proses. Dan saya percaya pada janji Allah, bahwa hijab akan melindungi umat wanitaNya. Begitu pun dalam konteks ini. Dengan mulai berhijab, muslimah akan terlindungi dan tertarik mendekat ke jalanNya. Banyak kebetulan yang pasti penuh makna di baliknya. Pick them up, Ukhti! ;) – Fani

No comments:

Post a Comment