Betty Putri K |
Ibuku anak tunggal dan ayah anak terakhir. Bangganya memiliki mereka yang mandiri. Saking mandirinya, aku yang terlahir di Jakarta jauh dari keluarga besar yang tinggal di Yogyakarta (tempat asal mereka). Aku anak keempat dari lima bersaudara, lahir di Jakarta dengan jarak tujuh tahun jauhnya dengan kakak ketigaku. Jarak yang membuatku sedikit terluka karena tidak lama kakak ketigaku harus melanjutkan SMP-nya di Yogyakarta, menyusul kedua abangku. Lama tidak berkumpul dengan kakak-kakakku, sampai merasa menjadi anak pertama, yang otoriter, tidak mau kalah dan harus bertanggung jawab sama adik perempuanku satu-satunya. Berat rasanya dari kecil sudah dibebani perasaan seperti itu karena kedua orangtuaku bukan orang yang sangat religius sehingga mereka mendidikku untuk menjadi lebih baik dari mereka dan apabila itu bisa membuat mereka bahagia aku akan berusaha.
Masa kanak-kanakku sangat membahagiakan. Aku juara kelas, main dengan banyak teman, cengeng, apa yang aku inginkan, Alhamdulillah selalu tercapai. Sampai suatu ketika duduk di bangku SMA kelas dua, walaupun kedua orang tuaku tidak pernah menuntut aku untuk bekerja di jurusan apa, tapi yang aku tahu jurusan ilmu pasti itu memiliki prospek yang meyakinkan. Tentu saja didasari keimanan pada Allah, aku YAKIN setiap manusia yang mau dan mampu untuk berusaha juga tidak sombong pada sang pemberi tidak ada yang tidak mungkin. Masa sih, Allah aja menciptakan banyak orang cacat bisa bikin lukisan, masa iya aku yang masih bisa mikir di usia muda gini udah nyerah untuk katakan tidak untuk jurusan yang aku inginkan?
Yup, pernah sesekali putus asa karena begitu banyak peminat jurusan itu dengan kuota yang terbatas sampai aku bernazar “Seandainya aku IPA aku akan berjilbab”. Hmm, memang salah sih, seharusnya jilbab sudah kukenakan sejak duduk di bangku SMP malah kujadikan taruhan karena saking tidak percaya dirinya. Dan lagi-lagi aku berlaku curang, sampai lulus SMA bahkan saat ini bisa masuk di universitas ternama (cita-cita ku dari kecil) aku belum bisa memenuhi nazarku. Banyak sekali godaan untuk tidak menggunakan penutup itu. Terutama karena saudara perempuanku belum ada yang berjilbab sehingga ga dapat motivasi kebanggaan berjilbab. tapi lagi-lagi semua itu aku dasari atas rasa imanku pada Allah. Dari kecil sampai SMA aku merasa jadi anak cupu, yang kerjaannya belajar, pakai pakaian yang gombrong (karena ditentukan oleh pihak sekolah), jarang keluar rumah karena tidak tega meninggalkan ibuku, rasanya duduk di bangku kuliah itu rasa bandelku harus kumat. Bukan karena hidup mandiri jadi anak kost kemudian harus bandel, awalnya juga beraaaaat banget harus ninggalin tempat kelahiran menuju tempat baru yang aku bener-bener ga tau bagaimana kedepannya. Hum, tapi secara psikologi ku (ngarang dikit) masa muda itu harus dinikmati dan waktunya bandel juga memperbanyak jaringan pertemanan.
Waktu tidak bisa diulang, hanya aku yang bisa bikin bagaimana cerita hidupku menjadi sangat menarik. Karena uda mikir prospek kedepannya kali yaa, jadi menurutku kalau mau bandel ya sekarang, aku ga mau jadi bandel ketika sudah memiliki imam nanti. Yah, mengejar ilmu di Jogja membuatku sedikit mengenal dunia baru yang menyenangkan. Sikap manjaku terpaksa harus aku hilangkan dengan banyak aktivitas sehari-harinya agar aku tidak terperangkap dalam kenangan-kenangan yang tidak bisa aku kembalikan lagi. Bukan saatnya aku menghayalkan masa lalu dengan kata seandainya, kini aku harus bisa berdiri sendiri dan aku yakin pasti bisa. punya banyak teman, jalan-jalan, saingan gebetan membuatku lupa akan cara berpakaianku pada masa sebelumnya.
Buatku seorang saingan itu malah jadi tantangan buatku, yah wanita itu membuatku menjadi (setidaknya) lebih rapi dari sebelumnya. Aku masih jadi mahasiswi labil yang masih mencari jati diri malah semakin membuka apa yang seharusnya jarang aku lakukan, hanya ingin menunjukan bahwa aku lebih cantik dari wanita itu. Tapi sampai akhirnya di waktu terakhir aku mau meninggalkan kota romantis ini, akhirnya Allah menegurku. Allah mengirimkan sesosok wanita baru untuk datang menguji hubunganku dengan (sebut saja) Han. Mungkin karena hampir empat tahun aku bersamanya, kali ini beda rasanya ketika dengan wanita yang dulu. Aku merasa asa datang lagi di hati ini. bimbang, sakit, kecewa, dan rasa nyerah ketika Han yang sangat baik tidak sependapat dengan apa yang aku katakan. Ketika ia sibuk dengan urusan bersama wanita itu, aku malah terjerumus dan ketagihan akan komunitas hijabers yang membuatku, “ih wow, aku ga nyangka ternyata wanita berjilbab bisa juga yang secantik dan semewah ini”. yah maklum biasanya lihat orang jilbaban rapi, cantik, mewah itu kalo ada acara aja, tapi sekarang jilbab juga bisa jadi secantik itu. jelas aku jealous, aku ingin jadi perempuan-perempuan cantik seperti yang ada di blog itu. perlahan-lahan aku share dengan teman-temanku yang udah lebih dulu berjilbab untuk referensi. Tidak pernah menyuruhku untuk berjilbab membuatku penasaran akan cantiknya bila berjilbab.
Yup, ku coba lah pasmina dengan model standar kemudian bercermin “subhanallah, tnyata cantik juga kok dengan jilbab”. Mulai saat itu aku mengenakan pasmina untuk keluar rumah kecuali tujuan kampus, banyak yang bilang aneh sii. Tapi aku hanya ingin adaptasi terlebih dahulu. Kukoleksi pasmina satu per satu dan sampai suatu pagi aku sudah rapih dengan pasminaku untuk ke kampus eh malah nyangkut sarapan gudeg. Bergejolaaaaak rasanya ingin ke kampus mengenakan penutup itu karena memikirkan apa yang akan dikatakan teman-teman ketika sesosok cewek asik menggunakan jilbab. Akhirnya aku pulang lagi ke kost karena belum siap, hahaha tertawalah adikku melihat anehnya tingkah lakuku. Gimana nggak, bayangin aku uda bangun pagi, cantik dan rapi siap ke kampus eh malah pulang lagi kayak anak SD yang ga kerjain PR trus takut masuk sekolah. Sampai pada akhirnya Han membuktikan pilihannya dan semakin bersyukurnya lah aku sama Allah masih dikelilingi orang yang sayang aku.
Tidak lama setelah keputusan yang cukup hebat sepanjang hubungan kami, akhirnya aku memberanikan diri untuk berhijab. Rasanyaaaaaa “Alhamdulillaaaaaaaaaaah bangeeeett” lega bisa menuhin nazarku yang tertunda cukup lama dan pujian yang selalu aku dapat ketika menggunakan sehelai kain pasmina itu. So comfortable dan ga ada beban sama sekali menggunakan sehelai penutup itu karena temanku pernah mengatakan “coba aja dipakai dulu gapapa, misal besok kamu ngerasa ga nyaman boleh kok di lepas”. Yang ku rasakan dengan pasmina ini seperti malam pertama terus, rasanya hangat dan menyenangkan. sudah tidak ada lagi mata pelecehan yang selalu dilakukan laki-laki, mau pakai baju apapun tidak kenal yang namanya berantakan seperti belum berhijab karena semua tertutup. dengan berhijab aja aku baru ngerasain bener apa yang sering kubaca kalau sensitivitas kulit yang biasanya berhijab kemudian dipegang tangannya sama laki-laki itu rasanya deg-degan gimanaaaaa gitu (rasanya beda walaupun sebelumnya Han udah sering gandeng tangan ku).
Aku ga ngebayangin gimana besok ketika sudah waktunya aku menjadi makmum seorang imam. Yah saat ini aku memang belum menjadi akhwat sejati, tetapi lagi-lagi aku YAKIN suatu saat pasti. Aku yakin Allah kasih aku proses pembelajaran yang terlukis dengan indahnya. Sejak pakai hijab entah kenapa secara emosi pun aku menjadi lebih sabar dan selalu mengembalikan masalah ku sama Allah (hehe, curangnya kumat). Buatku yang penting penutupnya bukan merk jilbabnya, bagaimana modelnya, dan siapa yang melihatnya. Akan aku jaga keinginan untuk diperhatikan lebih ini untuk imam ku kelak. Akan aku nikmati apa yang telah di cantumkan di Quran dan hadits, Allah ga pernah ingkar dengan janjinya.
No comments:
Post a Comment