Tersengat oleh ceramah seorang ustad ketika kesadaranku sudah dalam titik mengkhawatirkan karena berjuang melawan kantuk yang amat sangat, ditambah ngilu karena sikut temanku yang rajin menyerang pinggang. Bingung bin heran, kow bisa yaaa, kalimat ustad itu kekeuh bertahan di kepalaku dan terus bercuap-cuap, kayaknya sengaja banget deh bertahan biar aku benar-benar meresapinya. Bukan kali pertama aku dengerin ceramah para ustad, dari yang kondang banget sampai yang baru saja menapakkan kiprahnya. Tapi jangan ditanya ya apa isi ceramahnya, terlalu minim yang bisa diserap denga seutuhnya oleh otakku.
Balik lagi ke waktu itu, 9 tahun yang lalu, weekend paling fenomenal, hasil bujukan yang amat memaksa dari sohib-sohibku, aku ikut acara Studi Islam Intensif (SII) yang buat nyaliku ciuuuttt banget. Biarpun yang aku tahu islam itu cuma shalat dan puasa, ditambah pelajaran agama dari SD sampai SMA selalu dapat nilai pas-pasan.tapi aku juga punya sahabat yang alim. Menimba ilmu di sekolah umum, jujur ajah, yang aku rasain, belajar agama dari SD sampai SMA materinya itu-itu aja gak pernah nambah. Entah itu hanya perasaanku aja ato ada yang juga sependapat denganku. Jadi rasanya ikut SII ini seperti ikutan acara uji nyali, dimana aku dikelilingi para ustad dan ustadzah atau paling gak anak ustad dan anak ustadzah atau mantan anak pesantren. Sesi baca Al Quran bener-bener bikin aku pengen punya kekuatan wuzzzzz menghilang.
Eh, tapi jangan dikira kalo acara yang full dengan nuansa religi, artinya ga ada setan yang berani mendekat. Salah banget, paling gak itu yang aku rasain. Buktinya perasaan males, gak semangat, ngantuk, dan teman-temanya kekeuh banget nempelin aku. Jadi kebayang kan betapa herannya aku saat kalimat itu kekeuh bersemayam dalam labirin otakku. Sempet ge-er berpikir, apakah ini yang dinamakan hidayah? Lalu setan langsung memborbardirku dengan segudang cemooh. Mana mungkin si, kamu itu shalat ajah sering bolong, puasa cuma nahan lapar ama haus, trus baca al quran gak beda ama anak TK yang baru belajar baca. Hmmm, sukses deh setan menguasaiku, tapi kalimat ustad itu tetap bersemayam hingga berbulan-bulan setelah acara SII itu berlalu.
Jadinya aku kayak dengerin siaran radio 24 jam yang penyiarnya teruss ngebahas tentang itu plus teruss ngingetin aku tentang hal itu. Seperti difilm-film, antara setan dan malaikat di kiri-kanan ku sibuk berdebat, masing-masing mengeluarkan jurus-jurus terampuhnya untuk menguasai pikiranku. Begitu terus selama berbulan lamanya. Dan layaknya film-film juga, penjahat pasti kalah. Sebuah nazar telah meluncur dari ucapku dan terekam dibenakku.
Aku mulai belajar menggunakan hijab. Setiap weekend, semua pakaian yang “kurang bahan” itu aku tinggalkan, aku tutupi tubuhku dengan hijab. Beruntung gak semua pakaianku “kekurangan bahan”, jadi dengan pakaian yang ada, aku coba berkreasi, mix n match. Penutup kepala aku beli hanya warna-warna dasar. Namun jangan dikira setan ga sibuk menggoda, mereka malahan tambah banyak, sepertinya dia bawa sepasukan temennya untuk menggoyahkan niatku. Bener-bener nepatin janjinya untuk terus menggoda manusia hingga akhir jaman. Perasaan ragu dan takut akan kata-kata sinis orang lain yang menanyakan bacaan Al Quran-ku, puasa-ku, shalat-ku, sering menguasai, mengalahkan keyakinanku akan kebesaranNya. Pasrah deh, yang pasti aku gak mau kalah ama setan yang selalu nepatin janji, aku lanjutkan proses pembelajaranku dalam berhijab. Keluarga-ku cukup kaget dengan perubahan penampilanku setiap akhir pekan, namun mereka tidak protes.
Tepat sehari setelah walimahan-ku, dengan mengucap basmalah, aku yakinkan niatku, aku kubalut tubuhku dengan hijab. Alhamdulillah suami-ku mendukung, dengan semangat dia mengajak menambah koleksi hijabku. Namun seperti yang sudah aku duga sebelumnya, banyak orang yang shock pertama kali penampilan baruku. Ekspresi dan kalimat yang keluar dari mulut mereka kebanyakan sama (gak kreatif ya ?), semua sinis dan gak percaya, walopun ditutupi dengan ucapan hamdalah yang entah tulus ato tidak, terserah. Aku yakinkan niatku berhijab karena Allah, karena kewajibanku sebagai perempuan baligh. Aku putar kembali kalimat ustad itu dalam otakku, “berhijab tidak mensyaratkan harus lancar baca Quran, harus baik agamanya, tapi berhijab wajib bagi setiap perempuan baligh. Tak akan mencium bau surga orang-orang yang mempertontonkan auratnya”. Aku respon semua ekspresi mereka dengan senyum yang kupaksakan. Sahabatku memberikan kekuatan melalui ekspresinya yang tulus ditambah ucapan barakallahu yang meluncur yang cukup meluluhlantakkan setan-setan yang merasukiku dengan rasa ragu.
Sebulan pertama berhijab merupakan hari-hari yang berjalan amat lambat di kantor. Beruntung persiapanku pindah ke bali menyusul suamiku cukup mengalihkan pikiranku. Namun lagi-lagi kekhawatiran merasukiku. Tepat dua minggu sebelum walimahan-ku, sebuah bom meluluhlantakan bali. Membuat pulau tidak pernah sepi dari turis mancanegara dan domestic menjadi mencekam. Siaran berita yang menyudutkan Islam dengan embel-embel teroris membuat isu sara cukup kental berkembang disana. Lalu bagaimana aku nanti ? Haruskah aku melepas hijab ini ? Apakah orang-orang disana nanti akan memandangku dengan pandangan curiga ? Apakah Allah membuat pengecualian untuk orang-orang seperti aku ? Semua prasangka bebas berkeliaran di otakku dan yang pastinya setan pun berpesta. Mereka cukup berhasil menguasaiku selama beberapa waktu meskipun hijab ini terus menutupi raga-ku. Aku kira, jika kita sudah berhijab, maka setan akan takut mendekati, ternyata malah tambah banyak.
Pesawat yang membawaku ke bali telah mendarat. Ketakutan-ku tambah menjadi. Pertahanan ini mulai goyah, antara tetap berhijab atau melepasnya. Suami-ku menegarkanku. Masih dengan perasaan tak menentu,aku pijakan kakiku di pulau yang baru saja diguncang bom.
Subhanallah, ga ada satu pun yang luput dari perhatianNya. Resahku dijawabNya. Aku tinggal di perumahan yang memiliki mushala, hal yang cukup langka disini. Tetanggaku pasangan muda yang juga para pendatang, istilah untuk orang dari luar bali. Banyak dari mereka juga berhijab. Tanpa pernah aku sangka sebelumnya, justru di pulau inilah aku mulai belajar tentang islam dengan sebenarnya. Belajar baca Al Quran dan mencoba menghafalnya. Ramadhan-ku juga tidak hanya menahan lapar dan haus, aku berhasil mengkhatamkan Quran untuk pertama kalinya dalam hidupku. Tarawih pun aku usahakan tidak absen. Sungguh, airmata ini selalu menetes jika ingat bagaimana susahnya dulu mengenal huruf arab, betapa malasnya dulu tarawih padahal 3 mesjid mengelilingi rumahku . Selain itu, ajaran rasul untuk memuliakan tetangga bisa aku terapkan pertama kali disini. Ucapan Alhamdulillah pun rasanya tidak cukup jika mengingat masa itu.
No comments:
Post a Comment